Halaman

Katanya Cinta Pertama…


Cinta pertama? Hmm….
Asyik juga ya ngomongin soal cinta. Melempar kembali ingatan ke masa pacaran dulu. Ke masa paling indah sekaligus paling pahit dalam hidup.
Untung ada yang ngajak ngomongin tentang cinta. Tentang perasaan yang ada di setiap kita. Tentang apa yang kita rasakan saat ia mengelus kulit pada kesempatan pertama.
Cinta? Apa nggak ketuaan?

Ah, cinta kan tidak mengenal usia. Semakin berumur, semakin banyak energi cinta yang dibutuhkan. Bahkan setelah kamu menikah seperti saya, kamu akan butuhkan lebih banyak asupan cinta. Yang pasti bukan untuk orang lain. Tapi untuk pasanganmu di rumah, lalu anak-anak yang setiap hari beranjak dewasa. Mereka membutuhkan rasa baru dari cinta yang musti kamu pancarkan. Setiap waktu.
Jadi, seperti para pengacara sering bilang, secara yuridis formil, gak ada salahnya ngomongin cinta, termasuk cinta pertama. Sekalipun kamu sudah punya istri beranak dua! Bukan untuk bikin bini cembokur atau bukan untuk menunjukkan bahwa hati kita masih tersangkut di sana loh. Tapi sekedar sharing, berbagi dengan niat tulus ikhlas (tanpa berharap ia kan kembali…). Uhuy!
Saya mengenal cinta ketika baru mulai kuliah. Ketika seorang wanita yang berada di ujung telepon sana berkata tidak. Detik itu, saya langsung tahu rasanya cinta: Menyakitkan!
Gak kebayang. Dia nolak begitu saja. To the point, tanpa basa-basi!
Lalu, setiap kali saya mencoba memahami, semakin terasa sakit di hati. Mungkin salah saya tidak bertanya, “Kamu sudah punya pacar belum?” Tapi kalau tanda-tanda cinta sudah terasa, buat apa peduli statusnya apa.
Tapi itu dulu. Duluuu… sekali.
Setelah penolakan itu, saya paling mementingkan status. Begitu sasaran ditetapkan, update statusnya perlu terus dipantau. Persis seperti Facebook. Setidaknya sampai saya yakin dia masih belum ada yang punya.
Intinya, saya tidak mau ditolak dua kali! Gila aja kalau sampai kejadian lagi. Turun drastis harga pasaran… :D
Tidak lama setelah sakit hati itu pudar, sebuah cinta baru datang. Kali ini dari seorang gadis yang jauh lebih muda. Maksudnya, mahasiswi baru di jurusan yang sama. Gaya bicara dan bergaulnya masih khas anak SMA. Centil dan manja.
Well, singkat cerita, nasib baik sedang berpihak ke saya. Ibarat kata, kalau sudah rezeki tidak ke mana. Begitu nembak, langsung diterima.
Setelah itu, dunia serasa milik kita bertiga. Saya, dia dan teman tempat saya curhat dan muntah-muntah. Rasa cinta mulai berubah. Dari menyakitkan jadi menyenangkan. Setiap bangun tidur, hidup ini terasa lebih indah dari sebelumnya.
Tapi ternyata itu cuma ilusi semata. Si doi ada maunya. Bukan cinta yang diberi, tapi ada kepentingan yang dicari. Yah, bisa dibilang cinta palsu gitu lah. Dia sengaja mendekati dan pura-pura pacaran hanya untuk memuluskan agenda pribadinya. Kebetulan waktu itu saya ketua mahasiswa di jurusan, jadi punya akses dan kuasa lumayan untuk sekedar membantunya memuluskan kepentingan tersebut. Dan satu-satunya makhluk di bumi yang waktu itu terlihat paling bodoh sangat mudah ditebak, yaitu saya.
Apes banget ya berhubungan dengan cinta. Pertama ditolak, trus sekarang ditipu mentah-mentah….
Tapi gak papa. Saya masih bisa bernafas dan hidup normal seperti sedia kala, meskipun satu bulan setelah putus, dongkol di hati kambuh setiap kali mau berangkat tidur. Semua nama binatang di Ragunan saya absen satu per satu, nyaris seperti wiridan sehabis shalat (tapi maaf, tanpa mengurangi rasa hormat dan takzim saya, nama-nama tersebut tidak bisa saya sebut di sini… hehehe…).
Selama sebulan itu, saya ungkapkan kekesalan ini ke bantal, lemari, meja komputer dan semua benda yang ada di kamar.  Semua saya marahin dan semuanya tidak saya kasih kesempatan membela diri, apalagi minta maaf. Seperti orang gila ya saya ini? Sst… Jangan dijawab ya, nanti bisa-bisa yang menjawab saya marahin juga….
Setelah dua babak cinta tadi, saya merasakan kembali satu cinta yang rasanya tidak sama dengan sebelumnya. Lagi-lagi berbeda. Saya menyebutnya love by accident alias cinta kebetulan. Kebetulan siang itu saya bertemu dengan si rambut panjang di perpustakaan. Kebetulan dua hari kemudian saya bertemu dengannya lagi di fakultas teman. Lalu terakhir, kebetulan banget, pas saya lagi nunggu bis, dia juga lagi ada di situ menampakkan wajahnya yang menawan.
Dari serba kebetulan tadi, saya berasumsi lalu membuat kesimpulan sendiri: Ini cewek kayaknya jodoh gue deh….
Tak perlu waktu lama sejak rentetan kejadian tadi, saya mengungkan rasa cinta yang dijawab dengan anggukan kepala. Hati pun bergembira ria, tapi itu tidak berlangsung lama. Karena ternyata, setelah berjalan sekian lama, saya punya kesimpulan yang berbeda. Semua kebetulan tadi bukanlah kebetulan belaka. Ada orang (maksudnya teman) yang memang mengatur agar saya berpapasan dengan dia. Sampai akhirnya saya pun jatuh cinta.
Tapi kalau hanya itu saja, mustahil hubungan saya berakhir beberapa bulan berikutnya. Saya memutuskan untuk berpisah karena merasa tidak cocok dengannya. Dia ingin ke kiri, saya maunya main kanan. Jadi kita berjalan di dua sisi yang berbeda. Akhirnya saya pun terpaksa bilang, “kita udahan dulu ya….”
Nah, setelah ini, saya akan bercerita lagi. Bercerita tentang cinta. Memang bukan cinta pertama secara kronologi. Tapi cinta pertama yang paling hakiki. Cinta dengan seorang wanita yang sudah dua kali saya buahi.
Mudah-mudahan ada yang sabar menantikan kelanjutan kisah ini. Sebuah kisah cinta. Cinta yang mustinya hadir pada kesempatan pertama….
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda :

Tidak ada komentar: